Senin, 27 September 2010

Bagaimana Anda Memperlakukan Kamus ?

Membaca kamus merupakan kebutuhan yang harus dilakukan oleh siapa saja. Terlebih lagi bagi kita yang bergelut dengan dunia tulis menulis. Mustahil rasanya kita mampu menerjemahkan semua ilmu yang kita miliki dengan baik bila kita sendiri tak paham dengan kemajuan bahasa. Bagi kita, kamus ibarat makanan yang harus ada setiap saat. Dimanapun dan kapanpun diperlukan, kamus itu harus selalu siap. Sebab, perkembangan bahasa demikian pesat dan cepat. Bagi kita yang mengabaikan kamus tentu akan sangat kesulitan mengikuti perkembangan tersebut.
Kemajuan bahasa seiring dengan kemajuan peradaban manusia. Begitu juga juga dengan perkembangan kamus. Mulia dari yang sederhana, sampai yang rumit, kamus sudah tersedia. Berbagai cabang ilmu menyediakan kamusnya masing-masing.  Ada kamus kedokteran, biologi, fisika, bahasa, sosiologi, politik, dan sebagainya. Semua tersedia dengan mudah dan murah. Kitalah yang harus memilih sesuai dengan kebutuhan saat ini.

Mengingat pentingnya kamus, haruskah kita memiliki semua kamus yang tersedia saat ini ? Idealnya memang begitu. Tapi karena setiap kita berbeda, maka kita harus menyesuaikan dengan kebutuhan kita. Artinya, kita hendaknya memiliki semua kamus yang ada, tapi pengadaannya tidak harus dilakukan secara bersamaan. Harus ada prioritasnya. Bila hal ini dapat dilakukan, suatu saat kita pasti akan memiliki perbendaharaan kamus yang cukup.
Orang yang memiliki pandangan, pengetahuan, dan kecerdasan yang tinggi tentu memiliki perbendaharaan kata yang lebih dibandingkan dengan orang biasa. Demikian pula dengan kemampuan orang yang suka membaca kamu, tentu memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman. Demikian pula sebaliknya.
Ada berapa jenis kamus yang ada di rumah kita ? Bagaimana kita memperlakukan kamus itu. Atau bahkan tidak ada, dan tak pernah dibuka ? bagi seorang penulis, sungguh sangat naïf bila tak jarang, bahkan tak pernah bersentuhan dengan kamus. Walaupun kata-kata atau istilah yang ada dalam kamus itu tak digunakan semuanya, tetapi paling tidak dapat membuka wawasan kita tentang suatu masalah. Walaupun seorang penulis tidak menggunakan istilah yang rumit dan sulit sebagaimana yang ada dalam kamus, setidaknya penulis tersebut dapat membuat persamaan yang sederhana dalam memberikan penjelasan kepada pembacanya. Dengan demikian, masalah yang rumit dapat diuraikan dengan bahasa yang sederhana sehingga mudah di mengerti.
Jadi, bagaimana anda memperlakukan kamus, begitulah penghargaan anda kepada ilmu. Bagi kita yang selama ini tak memiliki kamus, segeralah untuk mendapatkannya. Bagi yang sudah ada, segera bacalah. Dan bagi yang sudah membacanya, lakukan secara terus menerus.

Kamis, 23 September 2010

Baju Seharga Rp 839 Juta. Wow .....!!!!

Kompas.com kamis (ini 23/9), menurunkan salah satu berita tentang biaya pembelian furnutur rumah dinas presiden sebesar Rp 42 M. Anggaran tersebut digunakan untuk membeli barang-barang mewah agar rumah dinas menjadi lebih indah, cantik, mewah, anggun, dan berbagai sebutan lainnya. Tak dapat dibayangkan seperti apa rupanya furniture tersebut. Hal ini sangat berbeda sekali dengan furnutur yang ada dirumah kami. Ranjang sudah reot, lemari mulai lapuk, kursi-kuri sudah dimakan rayap.
Dalam berita tersebut, juga disertakan beberapa biaya lainnya, seperti pembelian baju presiden Rp 839 juta. Dengan anggaran sebesar itu, berapa jumlah, serta kualitas baju yang akan didapatkan. Saya hanya memperkirakan, bahwa SBY setiap 5 lemit sekali pasti ganti baju. Anggap saja biaya untuk satu pasang baju presiden sebesar Rp 5 juta, maka akan dapat berapa banyak baju. Baju tersebut pasti bukan sembarang baju. Berbeda sekali dengan baju yang dikenakan oleh keponakan saya. Untuk mendapatkan baju seharga Rp 50 ribu saja, orang tuanya harus rela mengurangi jatah belanja harian mereka. Itupun dilakukan paling sering 6 bulan sekali. Atau paling 1 tahun sekali.

Siapakah yang merencanakan anggaran pengadaan baju tersebut, entahlah, yang pasti anggaran tersebut tentu sangat sulit untuk dipahami. Mungkin karena untuk presiden kali ya ….????
Saya yakin, SBY tetap ganteng walaupun dengan baju yang harganya seratus ribu rupiah. Tapi itulah, presiden kita memang senang dengan pencitraan. Mungkin kalau menggunakan baju yang murah, dan murahan akan menurunkan citra presiden yang perlente.
Itu hanya untuk anggaran baju presiden. Entah lagi anggaran untuk baju ibu presiden. Mungkin lebih besar. Sebab, perempuan umumnya lebih modis dari laki-laki. Anggaran untuk membeli baju bagi perempuan biasanya bear dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan juga biasanya banyak yang lebih tertarik dengan busana dan membelinya, walaupun terkadang tak pernah dipakai.
Saya tidak tahu apakah itu termausk pemborosan atau tidak. Karena, untuk biaya presiden tak kenal boros atau tidak. Yang utama adalah pencitraan dan prestise, walaupun sangat banyak anak nenegri ini yang sehari-hari hanya menggunakan baju yang melekat dibadan.
Semoga saja suatu saat SBY mengirimkan saya baju-baju bekasnya yang seharga ratusan juta itu, untuk saya gunakan memancing dan mencari kayu bakar dihutan. Wallahu a’alm

Rabu, 22 September 2010

Ketika Khatib Nggak Pakai Tongkat


Sudah berkali-kali saya diminta untuk menjadi khatib di masjid Al-Ikhlas. Tidak disitu saja, dimasjid Nurul Imanpun saya sering diminta jadi khatib. Namun, Antara masjid Al-ikhlas dengan masjid Nurul Iman ada sedikit perbedaan. Perbedaan tersebut, di Nurul Iman menggunakan podium, sedangkan di Al-Ikhlas menggunakan mimbar. Demikian pula, pada saat khutbah, di Al-Ikhlas menggunakan tongkat sedangkan di Nurul Iman tidak.
Sebagaimana tradisi NU, apabila khatib yang sadang berkhutbah harus memegang tongkat yang sudah disiapkan. Tongkat tersebut, ada yang kecil yang terbuat dari rotan, ada pula yang besar dan berat serta terbuat dari kayu ulin. Bayangkan saja kaual tongkat tersebut terbuat dari kayu ulin dan sebesar tangan kita, tentu sangat merepotkan bagi khatib ketika berkhutbah.
Masjid Al-Ikhlas sebenarnya bukan khusus masjid NU atau masjid Muhammadiyah. Namun tradisi yang digunakan di masjid ini mlebih banyak menggunakan tradisi NU. Sebab, kebanyakan jamaahnya memang lebih condong ke NU.
Sudah tiga kali ini, ketika berkhutbah aku tidak menggunakan tongkat. Pertama tongkat itu aku pegang ketika khutbah pertama, dan itupun diberikan oleh seorang bapak-bapak. Ketika melihat aku tak pakai tongkat, bapak tersebut tergopoh-gopoh maju mendatangiku dan memberikan tongkat itu kepadaku. Bapak itu, yang aku tak tahu namanya, menjepitkan tongkat itu diantara jari-jari kaki kiriku. Karena besar, tentu tak terlalu muat ked lam jari. Ada rasa sakit ketika tongkat iti dipaksakan masuk. Setelah khutbah pertama itu selesai, dan dilanjutkan dengan khutbah kedua, tongkat itu tetap aku pegang. Belakangan, bapak itu berasal dari suku Banjar, dan saat iti sedang berjualan bahan dan alat pertaian disekitar pelabuhan Kasongan.

Pada jumat lainnya, aku kembali dipercayakan menjadi khatib kembali. Kali ini aku juga tidak memegang tongkat. Pada saat khutbah baru akan aku mulai, datang lagi seorang bapak yang kali ini sering dipanggil dengan Bapak Miang. Beliau ini termasuk tetanggaku walaupun rumahnya agak jauh dari rumahku. Bapak Miang ini memberikan tongkat, tapi tidak menjepitkan diantara jari kakiku. Tongkat itu aku pegang sampai khutbah pertama selesai. Pada saat khutbah kedua, tongkat itu tak aku pegang lagi. Sungguh repot rasanya memegang tongkat sambil memegang kertas khutbah.
Pada jumat minggu kemaren (17/9), aku kembali menjadi khatib. Rana yang bertugas menyusun daftar khatib mengabarkan bahwa pada hari jumat itu merupakan giliranku menjadi khatib. Benar saja, ketika jadwal khatib yang telah dibagikan, tertera namaku pada jumat itu. Segala sesuatunya telah kupersiapkan dengan baik. Aku kembali naik mimbar dengan tidak menggunakan tongkat. Pada khutbah pertama, terlihat diantara jamaah ada yang berbisik. Mungkin mereka membicarakan aku yang khutbah tak pakai tongkat itu.
Pada jumat ini jamaah hanya berbisik saja. Mereka tak ada satupun yang maju mengambil tongkat yang tergeletak disampingku. Wanda terlihat berbisik dengan andi Baso. Damiri mencolek pinggak Bapak Miang, mungkin menyuruh Bapak Miang mengambil tongkat dan menyerahkannya padaku. Tapi dengan sedikit gerakan, Bapak Miang memberi isyarat untuk tidak melakukannya. Sedangkan disisi lain, Fahtar Eko Wahono berbisik pula dengan Rana, mungkin maksudnya agar Rana memberikan tongkat itu padaku. Sambil membacakan khutbah aku lihat Rana hanya tersenyum saja.
Sampai saat ini aku belum pernah mendengar diantara jamaah masjid Al-Ikhlas yang mengomentari serta memprotes tindakanku itu. Bahkan Damiri yang hamper tiap hari bertemu dimasjidpun tak pernah berbicara langsung denganku tentang khatib yang tak pegang tongkat. Aku diam saja. Aku rasa mereka juga berusaha mencari hadits tengan rukun, dan syarat khutbah. Mungkin sampai sekarang masih belum menemukan hal tersebut, maka tak ada yang menegurku secara langsung.

Sepengetahunku, Syarat dan rukun khutbah antara lain adalah : 1) Khutbah dilakukan sebelum sholat jumat. 2) Niat. 3) Disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh para jamaah. 4) Antara khutbah satu dengan khutbah yang kedua dalam satu waktu. 5) Disampaikan dengan suara yang keras. Sedangkan rukun khutbah yaitu : Memuji kepada Allah SWT. 2) Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW pada khutbah pertama dan kedua. 3) Berwasiat atau berpesan untuk melakukan ketaqwaan kepada Allah SWT. 4) Membaca satu atau sebagian ayat Al-Qur’an. 5) Berdo’a untuk kebaikan dan ampunan bagi orang-orang yang beriman.
Salahkah khatib yang sedang berkhutbah tidak menggunakan tongkat ? Sampai saat ini aku masih belum menemukan dasar penggunaan tongkat bagi khatib yang berkhutbah. Apabila tongkat itu wajib dan merupakan rukun serta syaratnya khutbah tentu semua khatib menggunakannya. Tetapi begitu banyak khatib yang tidak pegang tongkat saat memberikan khutbah. Dan sampai saat ini, aku belum mendapatkan hadits-hadits tentang wajibnya pegang tongkat. Mungkin diantara pembaca ada yang lebih tahu ?  pengalaman unik yang tak semua khatib bisa mengalaminya.

Senin, 20 September 2010

Mereka Menyuruhku Meniru


Menulis merupakan pekerjaan yang gampang-gampang susah. Gampang apabila kita menulis secara asal-asalan. Sulit ketika kita ingin menghasilkan tulisan yang bagus dan enak dibaca. Jangankan menghasilkan tulisan yang baus, memulai menulis saja terkadang sulitnya minta ampun. Harus mulai dari mana, menggunakan kata atau kalimat yang bagaimana, serta berbagai macam pikiran yang berkecamuk tentang jalan ceritanya nanti. Namun, ada sebagian orang yang sangat mudah dalam mengeluarkan pikirannya. Ada yang secepat kilat menghasilkan satu lembar tulisan, ada pula yang lambat, tetapi masih menghasilkan tulisan. Namun, sangat banyak orang yang sudah dua jam duduk didepan kumputer, tapi tak menghasilkan satu kata atau kalimatpun. Mereka seperti mengalami kematian pikiran untuk menhasilkan kalimat yang diinginkan.
Untuk mengatasi kesulitan tersebut, beberapa penulis menganjurkan untuk melakukan peniruan atau istilah kerennya plagiat dari tulisan para penulis yang lain. Dengan peniruan tersebut, kita akan mampau menghasilkan tulisan yang kita inginkan.
A.S. Laksana dalam bukunya Creative Writing menyarankan kita untuk menggunakan beberapa kalimat dari penulis lain agar mampu menulis. Demikian pula dengan M. Thobroni dalam bukunya Jadi Penulis Beken juga menyarankan untuk melakukan peniruan bila kita kesulitan dengan kalimat atau kata pembuka untuk sebuah tulisan. Lain lagi dengan Hernomo penulis buku Jejak Makna menyatakan bahwa kita harus melakukan peniruan bila kesulitan dalam memulai sebuah tulisan. Tujuannya sama, yaitu agar kita mampu menghasilkan tulisan yang baik, setidaknya menurut kita.
Kalau demikian berarti kita boleh dong melakukan plagiat ? Tentu boleh, asalkan plagiat tersebut hanya beberapa kata saja. Seterusnya kita harus mengembangkan tulisan kita sendiri dengan kalimat kita. Plagiat tersebut hanya untuk mengatasi kesulitan kita dalam memulai  menulis. 

Lebih lanjut M. Thobroni memberikan kita menulis dengan jurus ATM. Apa pula itu ? ATM adalah Amati, Tiru, dan Modifikasi. Artinya, pertama kita harus mengamati atau memperlajari sebuah tulisan, setelah itu kita tiru tulisan itu, dan selanjutnya lakukan modifikasi. Ketiga hal ini memungkinkan kita untuk mampu menghasilkan tulisan yang kita inginkan.
Mengamati meliputi kegiatan membaca, menelaah, memperhatikan gaya penulisan, pemilihan kata, pengaturan tanda baca, dan sebagainya. Sedangkan tiru adalah kegiatan menyalin kembali apa yang kit abaca, lihat dan telaah dari sebuah karya. Selanjutnya modifikasi adalah kegiatan melakukan perombakan, editing, dan sebagainya sehingga karya atau tulisan tersebut sudah lebih berbeda dengan tulisan yang pertama. Melalui ketiga tahapan ini, kita bisa saja menulis dengn judul yang sama tapi dengan latar yang berbdea, jalan cerita yang tak sama, serta karakter tokoh yang lain. Ini akan memberikan nuansa cerita baru bagi kita.
Harus diperhatikan juga, jangan sampai keterusan meniru. Hal ini juga tidak baik, sepertinya kita selalu tergantung dengan orang lain. Usahakan untuk sellau belajar membuat kata atau kalimat pembuka sendiri. Hal ini penting untuk memudahkan kita dalam menyusun kalimat berikutnya. Bila sudah terbiasa, kita tak perlu lagi melakukan peniruan. Ternyata para penulis itu menyuruh kita meniru, tentu dengan peniruan yang kreativ.
Ternyata untuk menghasilkan sebuah tulisan, kita tidak bisa terlepas begitu saja dari tulisan lainnya. Semua memiliki ketergantungan. Karen itu, huruf atau kata berdiri sendiri, bukan milik seseorang. Jadi, bila suatu tulisan memiliki kesamaan kata atau kalimat, bukan berarti ia mencontoh tulisan sebelumnya. Apagi bila tulisan tersebut memiliki sedikit perbedaan dari tulisan sebelumnya. Peniruan yang salah adalah apabila dilakukan secara menyeluruh setiap kata, kalimat, tanda baca, dan sebagainya. Ketika suatu tulisan memiliki sedikit perbedaan maka belum bisa dikatakan peniruan.

Musafir di Masjid Kami

Malam jumaat kemaren (17/9) ada tamu yang menginap di masjid kami. Ia mengaku berasal dari daerah Kahayan, Kabupaten gunung Mas. Ia singgah di masjid Al-ikhlas karena kehabisan biaya. Aku tak sempat bertanya dari mana ia sebelum sampai ke masjid kami. Waktu itu, sebelum magrib ia dating. Dengan membawa tas punggung warna hitam, masuk dan iktu sholat magrib di masjid.
Menjadi pengembara memang penuh suka duka. Apalagi bila bekal yang kita miliki pas-pasan. Kita harus benar-benar mampu memperhitungkan segala sesuatunya dengan baik, agar tak tersesat ditengah jalan.
Aku tak sempat bertanya siapa nama musafir itu. Usianya masih muda. Mungkin sekitar 20-an tahun. Perawakannya tak terlalu tinggi. Namun wajahnya terlihat ganteng, hanya sedikit hitam.
Malam itu, hujan lebat, disertai dengan petir dan kilat. Listrik padam. Suasan menjaid gelap. Demikian juga dengan masjid kami, pasti gelap juga. Aku tak tahu apakah Untung ada menyiapkan lilin sebagai lampu penerang. Musafir itu tidur ditengah gelapnya malam. Mungkin rasa kantuk yang sangat berat membuat ia tak merasa gentar sedikitpun. Atau juga karena kondisi yang memaksa dia untuk tetap bertahan. Aku yakin, kalaupun ia punya uang, tentu ia tak akan tidur dimasjid. Sebab, sebelum sholat Isya, ia bilang bahwa ia kehabisan ongkos untuk pulang. Melihat persiapannya, ia termasuk pemuda yang cukup taat. Hal ini terbukti dengan sajadah yang dibawanya, serta dipakainya ketika kami sholat Isya berjamaah.


Sebagai sesame muslim aku merasa ia sebagai saudara. Untuk itu, aku membuka dompet, dan kulihat ada uang Rp 60.000,- didompetku. Uang itu tiga lembar dengan nilai 20 ribuan. Ku ambil Rp 40.000,- dank u panggil Untung menitipkan uang tersebut kepada sang musafir. Aku tak mau langsung memberikan kepada musafir itu, karena ia sedang ngobrol dengan jamaah yang lain. Aku pikir, uang 20 ribu yang ada didompetku masih cukup untuk keperluanku satu dua hari ini.
Sebelum tidur aku selalu memikirkan nasib musafir itu. Bagaimana kalau hal tersebut terjadi pada diriku atau keluargaku. Tentu bukan hal yang mustahil. Ada terbersit penyesalan dihatiku, kenapa aku sisakan uang didompetku. Kenapa tak kuberikan semua uang itu untuknya. Akukan masih bias bertahan, sebab keperluan sehari-hari sudah dipersiapkan lebih dahulu. Aku yakin biaya yang diperlukan agar musafir itu sampai ke rumahny tentu tak sedikit. Paling tidak diperlukan duit 200 ribuan. Semoga saja ada muslim yang lain, yang bisa membantu musafir itu. Wahai sang musafir, maafkan aku yang tak maksimal membantumu hingga engkau sampau dirumahmu. Semoga sekarang engkau tentram berada ditengah-tengah keluargamu. Ya Allah … maafkan hamba-Mu yang lalai dengan saudaranya ini.

Jumat, 17 September 2010

Tuhan Yang Disembunyikan

Manusia hadir di dunia ini bukan terjadi dengan sendirinya. Ada kekuatan besar yang menciptakan manusia agar mampu berkembang biak dengan baik. Semua itu terjadi karena ada yang Maha Pencipta. Menjadi manusia berarti menjadi makhluk yang harus berbakti kepada Sang Penciptanya. Itulah oleh agama yang disebut dengan nama Tuhan, Allah SWT.
Seiring dengan penciptaan manusia itu, Allah SWT juga memberikan tata aturan dan prinsip dasar yang harus dipatuhi oleh manusia dalam menjalankan kehidupan di dunia ini. Tata aturan tersebut kita sebut dengan agama. Menariknya, agama diturunkan oleh Allah SWT melalui para malaikat kepada manusia terpilih yang disebut dengan Nabi dan Rasul. Nabi dan Rasul ini yang bertugas menyebarkan ajaran agama kepada manusia di seluruh penjuru dunia.
Agama merupakan pedoman dasar bagi manusia dalam mengarungi kehidupan ini. Bagi yang tidak bersedia menjalankan ajaran tersebut, biasa disebut dengan ateis. Bagi orang yang beragama, halal dan haram, atau boleh dan tidak boleh menjadi hal yang sangat penting. Sebab, kedua hal tersebut akan menentukan kehidupan akhirat manusia.
Tuhan atau Allah SWT merupakan pusat dari kehidupan manusia. Segala hal yang dilakukan oleh manusia harus bersumber dan berakhir kepada Allah SWT. Karena itu, manusia harus menjadikan Allah sebagai kiblat yang harus dipatuhi.
Seiring dengan kemajuan jaman, kehidupan manusiapun semakin maju dan berkembang. Karena kemajuan dan perkembangan tersebut, banyak manusia yang sudah tidak memerlukan Allah lagi. Mereka beranggapan bahwa Tuhan hanya sebagai pengganggu kehidupan dunia mereka. Dunia merupakan tujuan utama bagi mereka. Ajaran agama telah membelenggu kehidupan mereka sehingga menjadi tidak bebas. Ajaran agama di buang jauh-jauh dari kehidupan. Sebagai gantinya, manusia mendewakan akalnya. Segala sesutu yang tak masuk akal tak pantas menjadi aturan dunia.

Untuk mengatur urusan dunia, Tuhan tak boleh ikut campur. Urusan dunia adalah urusan manusia, sedangkan masalah akhirat belum tentu ada. Karen itu, Tuhan harus dijauhkan dari kehidupan manusia. Tuhan hanya diletakkan ditempat yang sangat jauh, pojok, sempit, dan terkadang malah tak diperlukan.
Untuk mengenal Tuhan, kita harus mengenal agama yang telah diturunkannya. Lewat ajaran agama tersebut Tuhan memperkenalkan dirinya, sekaligus member cara untuk mendekatinya. Agama, mengatur kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan masalah keduniaan maupun masalah akhirat. Anehnya, begitu banyak manusia yang justru menolak ajaran Tuhan tentang dunia. Mereka berusaha untuk menempatkan agama jauh diranah pribadi manusia. Seakan-akan, masalah agama adalah masalah yang sangat spesifik Tuhan semata. Padahal, dalam ajaran agam terkandung pelajaran bagaimana manusia mengatur dunianya, yang apabila dipelajari lebih jauh, tentu memberikan kebahagian bagi seluruh umat manusia.
Hal yang sangat aneh pula, orang menyembunyikan Tuhan dan agama-Nya adalah mereka-mereka yang sering disebut tokoh. Mereka berusaha melakukan manipulasi terhadap ajaran agama, sehingga agama bukan menjadi solusi bahkan menjadi problem baagi manusia. Para tokoh itu, dengan segala macam cara untuk memenuhi ambisi pribadinya membuang jauh ajaran agama yang sangat universal bagi tata aturan dunia. Ironis memang. Tapi itulah kenyataannya.
Kitab suci sudah mulai jarang dibaca, bahkan ada yang sampai mau membakarnya. Kehidupan manusia sudah tak pernah lagi memperhitungkan bahwa kelak suatu saat kita akan dimintai pertanggung jawaban oleh yang Menciptakan kita.
Sebenarnya sangat banyak orang yang berusaha untuk membumikan ajaran agama. Tapi mereka ini selalu dilawan oleh orang yang mengaku dirinya modern. Setiap usaha untuk menjadikan agama sebagai salah satu solusi bagi permasalahan dunia, selalu ada yang berusaha untuk melawannya. Kita semakin bingung dengan masalah ini. Nasib Tuhan ada di tangan manusia. Bukan sebaliknya. Wallahu a’lam bishawab

Rabu, 15 September 2010

Renungan Ulang Tahun

Hari ini tepatnya 15 September 2010 merupakan hari ulang tahun saya. Sudah berpuluh-puluh tahun saya hidup di dunia ini. Sampai saat ini, begitu banyak pengalaman hidup yang saya alami. Pengalaman itu, ada yang bernilai baik, dan ada pula yang buruk. Pengalaman tersebut telah memberikan warna bagi kehidupan saya. Kehidupan saya seperti pelangi yang menawarkan keindahan, sekaligus juga tanda bagi akan turun hujan.
Kemarau dan hujan kehidupan selalu silih berganti. Pada saat kemarau, bersiaplah untuk bertemu hujan. Demikian sebaliknya, bila sedang musim hujan, bersiaplah untuk menerima kemarau. Kehidupan yang selalu kemarau atau selalu hujan memang kurang indah. Namun demikian, air dan panas membawa implikasi masing-masing. Air memberikan kesejukan, sedangkan kemarau memberikan rasa panas yang tentu tidak mengenakkan kita. Ketika hujan harus disyukuri. Sebab, dengan hujan tersebut Allah SWT menurunkan rahmat-Nya. Begitu juga ketika kemarau, Allah SWT memberi pelajaran bahwa kehidupan harus dilalui walapun dengan suasana yang sangat tidak menyenangkan.
Optimis dan pesimis merupakan dua kondisi kejiwaan yang akan mempengaruhi kehidupan. Ketika kita optimis, dunia demikian indah dan bervariasi. Begitu juga ketika kita dilanda pesimis, maka dunia begitu berat, sangat melelahkan, gersang dan monoton. Kehidupan kita sesungguhnya adalah bagaimana kita menjaga optimis itu selalu hadir dalam kehidupan kita.
Kemarau dan hujan, pesimis dan optimis menjadi kunci bagaimana kita menjalani hidup. Terlepas dari berbagai hal lainnya, keempat hal tersebut tentu dialami oleh semua manusia. Berpuluh-puluh tahun keempat hal tersebut hadir silih berganti dalam kehidupan saya sampai hari ini. Namun demikian, belum ada kata puas akan kehidupan ini. Semua masih terasa kurang. Saya masih membutuhkan kesempurnaan yang lebih baik. Tapi anehnya, kesempurnaan yang saya cari itu, sampai saat ini belum dapat saya definiskan dengan baik. Kesempurnaan yang ada dalam angan-angan itu sangat jauh dari jangkauan saya.

Itukah yang dinamakan dengan godaan dunia ? Mungkin saja. Kehausan akan kehidupan yang lebih baik membuat saya selalu memelihara optimis. Padahal, kehidupan yang saya rasakan sekarang ini sudah cukup. Ada bayang-bayang kehidupan lain yang masih menggoda. Harta, tahta, dan mungkin juga wanita, saya akui masih menari-nari didepan saya. Ketiganya minta diraih demi kehidupan dunia.
Saya saat ini masih mempertanyakan diri saya, apakah saya masih pas disebut manusia. Sebab, menjadi manusia yang benar-benar manusia memang tidak mudah. Apakah yang saya lakukan selama ini sudah menunjukkan bahwa saya sudah manusia. Ada kekhawatiran saya, bahwa diri saya ini binatang dalam wujud manusia. Tubuh saya manusia, tapi akal dan pikiran saya masih didominasi oleh sifat-sifat binatang. Semoga Allah menjadikan manusia yang benar-benar manusia.
Antara saya dan kematian hanya dibatasi oleh tirai setebal satu lembar rambut yang dibelah tujuh. Namun demikian kehidupan saya seperti tak kenal mati. Dari pagi sampai malam dilalui dengan bekerja untuk memenuhi ambisi pribadi. Kematian yang begitu dekat belum mampu menyadarkan saya bahwa ibadah kepada Allah SWT adalah yang utama. Poros kehidupan saya hanya dunia semata. Padahal, kalau dipikir-pikir, kehidupan manusia berpusat kepada Allah SWT. Entahlah…… saya tak tahu kapan hal itu akan terjadi dalam hidup saya.
Mengingat kehidupan yang demikian itu, tak pantas rasanya saya mendapatkan ucapan selamat ulang tahun. Sebab, ucapan tersebut hanya diberikan kepada mereka yang sudah membaktikan hidupnya untuk menjadi manusia yang sempurna. Sementara saya …… semuanya masih kabur.
Ya Allah…. Janganlah Engkau jadikan aku hamba-Mu yang menjauhi-Mu
Ya Allah…. Anugrahilah aku kehidupan yang lebih baik.
Ya Allah….. jadikan aku manusia yang benar-benar manusia sehingga mampu menerjemahkan semua Firman-Mu dengan baik.
Ya Allah …… anugrahkanlah aku kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Amin

Selasa, 14 September 2010

KHATIB SHOLAT IDUL FITRI 1431 H/2010 M

Sungguh pengalaman yang tak terkirakan oleh saya ketika ditunjuk menjadi khatib sholat idul Fitri 1431 H, jumat 10 September 2010. Bagaimana tidak, hal ini belum pernah sekalipun saya lakukan. Pengurus Masjid Nurul Iman Kasongan menetapkan saya sebagai khatib dan Dodo Rahman Sudiro sebagai imamnya. Berbagai perasaan berkecamuk, antara bingung, gugup, serta berbagai perasaan lainnya. Timbul keraguan dalam diri, apakah saya bisa menjalankannya dengan baik.
Alhamdulillah. Semua berjalan dengan baik. Kali ini saya mengambil tema “Melestarikan Nilai-Nilai Ramadhan”. Tema ini sederhana saja menurut saya. Kita hanya dituntut untuk melanjutkan semua ibadah ramadhan yang telah kita lakukan. Banyak orang yang beribadah dengan giat di bulan ramadhan, semua amalan yang wajib maupun yang sunah dilaksanakan. Tetapi, setelah ramadhan semua itu hilang tak berbekas. Untuk itu, dalam khutbah kali ini saya mengajak semua jamaah untuk melestarikan semua amalan-amalan tersebut.

Memang, melaksanakan ibadah itu tidak mudah. Apalagi bagi orang yang masih lemah keimanannya. Semua ibadah yang ringan sekalipun terasa berat, apalagi yang benar-benar berat. Semua itu akan terasa mudah bila dilakukan dengan keikhlasan.
Banyak pelajaran ramadhan yang dapat dipetik. Kita tentu sudah paham betul akan hal tersebut. Masalahnya adalah bagaimana kita meneruskan semua pelajaran tersebut dalam kehidupan kita untuk 11 bulan yang akan datang.
Menjadi khatib memang tidak mudah. Kita dituntut untuk melaksanakan semua apa yang telah kita sampaikan dalam khutbah tersebut. Disinilah tantangannya. Semoag ramadhan tahun ini menjadi tunggak awal bagi saya dalam menjalankan semua perintah agama.

Jumat, 03 September 2010

Melawan Malaysia


Ketika presiden SBY menyampaikan pidato masalah hubungan antara Indonesia dengan Malaysia, banyak rakyat yang kecewa. Dalam pidato tersebut, SBY menyatakan bahwa Indonesai tidak berniat untuk melakukan peperangan dengan Malaysia dalam menyelesaikan beberapa masalah yang sedang terjadi selama ini. SBY menginginkan langkah damai dalam meluruskan kembali hubungan kedua negara. Kenapa presiden demikian lemah dalam menghadapi Malaysia yang seakan-akan arogan ? Akankah dengan sikap presiden yang demikian Indonesia menjadi negara yang lemah.
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan apabila kita melakukan perang dengan Malaysia tahun ini. Hal tersebut diantaranya adalah : Pertama, APBN kita tahun ini tidak menganggarkan dana untuk kegiatan perang. Karena itu, bila kita melakukan perang maka seluruh biaya akan ditanggung oleh rakyat. Bila hal ini terjadi, tambah miskinlah rakyat kita. Rakyat yang sudah hidup susah akan bertambah susah. Bukan berarti rakyat tidak mau membela kedaulatan bangsa dan negaranya, tapi untuk apa berperang kalau hasilnya menbuat kita menderita. Sebab, menang atau kalah rakyat tetap menderita.

Kedua, karena APBN kita lebih banyak digunakan untuk belanja pegawai, maka bila kita berperang konsekwensinya adalah belanja pegawai diambil untuk membiayai perang. Untuk itu, PNS harus rela tidak menerima gaji selama beberapa bulan. Kalaupun hal itu tidak dilakukan, dan anggaran perang diambil dari belanja pembangunan, maka bersiaplah mereka-mereka yang mencari pekerjaan dan yang sudah bekerja kehilangan pekerjaannya karena tidak ada dana pemerintah untuk melanjutkan pekerjaan tersebut.
Ketiga. Kita tentu sudah seringkali membaca sejarah tentang Ganyang Malaysia. Masalah ini sudah ada sejak lama. Tapi sampai sekarang kita tidak pernah berperang. Malaysia tak terpernah mengagresi kita secara langsung. Demikian pula dengan bangsa kita, tak pernah membalas dengan penyerangan. Semua hanya sebatas wacana saja. Kalau negara kita suka berperang, tentu sudah lama kita memerangi Malaysia. Dan sampai saat ini hubungan kedua negar aman-aman saja.
Mungkin bagi beberapa orang, masalah kedaulatan negara dan batas-batas negara harus direbut dengan perang, tetapi kalau perang itu hanya menguntungkan segelintir orang, serta akibatnya menyengsarakan jutaan rakyat Indonesia yang lain untuk apa. Bukannya tambah baik negara kita, tetapi menjadi bertambah sengsara. Tak ada satu orangpun manusia Indonesia menginginkan hal seperti ini. Mereka yang meneriakkan kata-kata perang, pada saat perang terjadipun belum tentu berada digaris depan.
Persoalan perbatasan negara biarlah pemerintah yang mengurusnya. Kalaupun pemerintah terlihat lambat ataupun lemah, tentu ada pertimbangan yng harus dilakukan. Pemerintah tentu tidak memikirkan keuntungan sekelompok orang, tapi memikirkan kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan. Kita bangsa beradab dan mengedepan sopan santun dalam menjalin hubungan dengan negara lain. Cara-cara diplomasi harus dilakukan dengan baik. Dan untuk itu dibutuhkan kesabaran, agar memberikan keuntungan yang maksimal.