Selasa, 20 Maret 2012

Air Mata Ayah

Dari sudut matanya menetes satu persatu butiran bening. Suaranya nyaris tak terdengar. Kami yang berada dalam ruangan itu terdiam. Sesekali, disekanya mata yang kian basah. Bahunya terguncang. Ia memandang kami bergantian. Baru kali ini kami melihat ayah menangis.
Hari ini aku melihat ayah sangat berbeda. Biasanya ayah selalu riang. Ia berusaha membuat kami senang. Disisi lain, ayah juga tegas, bijaksana dan bertanggung jawab. Apa yang terjadi dengan ayah. Tak seorangpun tahu. Aku dan saudaraku yang lain hanya diam. Kami tak berani mengusik kesedihan ayah. Rini, adik bungsuku tak mampu menahan tangis. Air matanya tumpah disertai suara isak yang kian nyaring. Ayah memeluknya sambil mengusap-usap rambut Rini. Ayah mengabil ujung bajunya untuk menghapus air yang membasahi matanya.
Malam kian larut. Diluar hanya sesekali terdengar langkah para penjaga malam. Kami berkumpul di ruang tamu sekaligus tempal kumpul keluarga. Rumah kami kecil, hanya ada dua kamar tidur. Ukurannya pun kecil. Satu kamar ayah dan satunya lagi kamarku dan adik-adikku. Kami sudah lama tak bersama ibu. Nyala lampu teplok yang menjadi sumber penerangan di rumah ini kadang terang, kadang redup. Sesekali hampir padam karena hembusan angin yang masuk dari celah-celah dinding bambu. Tanganku sibuk menghalangi hembusan itu agar lampu tak padam.
Dua tahun lalu ibu pergi meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Sejak itu, ayah merangkap sebagai ibu bagi kami. Mungkin ayah menangisi kami yang tak beribu. Ibu meninggalkan kami karena terserang penyakit muntaber. Saat itu, karena jarak desa yang jauh dari puskesmas, serta kurangnya pengetahuan kami tentang cara mengatasi muntaber, nyawa ibu tak tertolong. Kepergian ibu meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi kami, khususnya ayah.
Aku sekuat tenaga untuk tak menangis dihadapan ayah. Aku ingin ayah melihatku sebagai lelaki yang kuat. Walaupun aku tak tahu persis penyebab kesedihan ayah, tapi aku sangat merasakan kesedihan itu. Aku ingin menjadi lelaki kuat.
Sebenarnya ayah sering menangis, tapi dikamarnya saja. Kali ini ayah menangis dihadapan kami. Ribuan  tanya berputar-putar dikepalaku. Sesuatu yang aneh. Ayah tak seperti biasanya. Ayah tak menceritakan segala kegundahan hatinya. Kepana ia menangis, dan apa yang terjadi dengannya. Biasanya, sebagai anak tertua, aku menjadi teman diskusi bagi ayah. Tak jarang ayah menceritakan segala denganku. Walaupun umurku baru 14 tahu, tapi sepertinya ayah sudah menganggapku dewasa, dengan mengajak bersikusi, atau sekedar ngobrol saja.
 Beberapa hari ini ayah tak pernah mengajakku ngobrol. Ayah selalu menghabiskan harinya dengan bekerja keras. Akulah yang menjaga dan merawat adik-adikku. Setiap hari ayah selalu menanyakanku tentang adikku, kesehatan mereka, makanan mereka, pelajaran mereka, dan sebagainya. Akhir-akhir ayah sangat jarang melakukannya. Aku saja yang berinisiatif memberitahukan ayah tentang adik-adikku. Ayah hanya diam langsung pergi ketika keberitahukan bahwa Rini belakangan ini agak rewel, Dedy yang agak malasan ke sekolah. Tanggapan ayah sangat dingin. Aku jadi bertanya-tanya. Ada apa dengan ayah.
Hari ini ayah menangis. Tangis yang entah apa maknanya. Perilaku ayah tak seperti biasanya. “Ayah, kami resah dengan ayah. Katakan apa yang terjadi dengan ayah?” Aku membatin, menunggu sesuatu yang akan keluar dari mulut ayah. Sesuatu yang aku harap dapat memberikan ketenangan bagi kami semua. Lama… tak ada suara. Hembusan angin malam yang lewat celah dinding bambu, menambah dinginnya malam. Entah kenapa mala mini aku dan adikku belum mengantuk. Biasanya, jam segini kami sudah tidur.
“Ayah.” Tiba-tiba mengejutkan kami. Kulihat ayah melirik kearah Dedy. “Kenapa ayah menangis?” lanjutnya sambil menunduk. Dedy tak menatap wajah ayah. Mungkin ia takut. Kugamit pinggang Dedy, sebagai tanda tak setuju. Dedy diam saja. Ayah juga masih diam.
Dalam hati aku gemas dengan sikap Dedy yang bertanya kepada ayah. Aku ingin ayah menceritakan sendiri apa yang dirasakannya. Tapi Dedy sepertinya tak sabar. Dedy menarik selimutnya yang pada beberapa bagian sudah bolong, untuk mengurangi hawa dingin.
“Malam ini ayah cengeng.” Aku semakin terkejut dengan ungkapan Dedy. Ucapannya tak pernah terlintas dipikiranku. Mungkin juga ayah tak akan pernah berpikir anaknya ada yang berkata demikian. Ayah masih dengan sikap diamnya.
Selama ini aku dan adikku tak pernah bersikap kasar kepada ayah. Selain tidak berani, adat desa juga tak pernah mengajarkan hal seperti itu. Bagiku yang sudah terbiasa dengan tata krama dan sopan santun, ungkapan Dedy terdengar sangat kasar dan penuh tantangan. Walau Dedy tak berani beradu pandang dengan ayah, tapi ia berani manantang ayah.
“Sebagai lelaki kita tak boleh cengeng Yah.”
“Dedy.” Tak sadar aku berteriak menyebut nama Dedy. “Anak ini sudah keterlaluan. Dari mana ia dapatkan kata-kata itu?” ujarku dalam hati. Aku takut ayah marah. Aku tak ingin menambah beban ayah. Aku ingin ayah selalu senang dan bahagia. Rini yang ada di pangkuan ayah terkejut. Ada sedikit perubahan diwajah ayah.
Kami sudah didik oleh orang tua untuk selalu bersikap sopan dan santun kepada siapapun, terlebih itu kepada orang tua. Baik orang tua kandung atau kepada orang tua yang lain. Ayah dan almarhum ibu selalu menasehati kami agar tak lancang kepada sesama manusia. Jangan kepada manusia, kepada binatang dan tumbuhan saja kita tak boleh semena-mena ujar ayah suatu kali.
Apa yang diungkapan Dedy barusan sungguh diluar dugaanku. Tak pernah aku berpikir kalau Dedy selancang itu kepada ayah. Di sudut mata ayah masih teergenang air, dan perlahan menetes kepala Rini yang ada dipangkuannya.
“Ayah ingin menyampaikan sesuatu kepada kalian.” Suara ayah terdengar pelan. “Ayah sudah lelah memeliara dan membimbing kalian.” Lanjut ayah lagi.
“Hah.” Tanpa sadar aku terperanjat mendengar suara ayah. Dedy yang berada disampingku pun terkejut. “Jadi selama ini kami telah menyusahkan ayah?” ujarku dengan nada suara yang meninggi. Aku mengatupkan kedua tanganku ke muka. Tangisku pecah. Sekuat tenaga sudah aku berusaha untuk tak terpengaruh air mata ayah, tapi saat ini sudah tak mampu lagi kubendung.
“Maksud ayah….”
Belum sempat ayah melanjutkan pembicaraannya, Dedy sudah menyahut. “Ayah menyesal hidup dengan kami?” Bahu Dedy berguncang. Iapun tak sanggup menahan tangisnya. Sekarang kami yang menangis. Ayah kembali terdiam.
“Bukan begitu.” Suara ayah terdengar datar. “Ayah ingin memberikan kebahagian buat kalian. Ayah akan menikah lagi. Diantara kita aka nada ibu baru.” Aku dan Dedy terdiam dan saling memandang.
“Benarkah ayah ingin menikah lagi?”
“Benar.” Ujar ayah. Air di pelupuk matanya sudah mengering. Ayah menangis bukan karena sedih, tapi karena ingin membuat kalian bahagia. Dedy bangkit dan berjalan menuju kamar. Ia tak berkata-kata dan tak memandang ayah. Entah apa yang dipikirkannya.
Benarkan ayah akan memberikan kebahagian bagi kami. Dengan menikah lagi, apakah kami anaknya akan mendapatkan limpahan kasih sayang dari ibu tiri. Telah banyak ibu tiri yang justru membawa kesengsaran bagi anak tirinya. Kubiarkan Rini tetap di pangkuan ayah, sementara aku pun bangkit meninggalkan ayah. Air mata ayah, air mata kebahagiaannya. Air mata kami, air mata penderitaan.

Senin, 19 Maret 2012

Kemauan

Semua orang ingin sukses. Semua orang ingin berhasil. Demikian pula dengan saya. Saya ingin sukses secara materi, prestise, dan sebagainya. Tak hanya itu, saya juga ingin sukses di dunia dan akhirat. Di dunia sejahtera dan di akhirat masuk surga. Indah memang, dan saya yakin semua orang menginginkannya. Namun demikian, bagi kita yang memiliki keinginan seperti itu, sudahkah kita berusaha untuk mendapatkannya?
Untuk berhasil atau sukses di segala bidang memang tidak mudah. Diperlukan kemauan yang kuat. Api yang kecil hanya memberikan kehangatan yang sedikit. Untuk mencapai keberhasilan, kita harus memiliki kemauan yang kuat. Tapi, kita juga harus memperhatikan bahwa api yang terlalu besar bisa membakar diri kita sendiri. Artinya, kemauan harus disesuaikan dengan kemampuan. Jangan sampai kemauan besar tapi tidak memiliki kemampuan untuk mencapainya. Atau, bisa juga semua itu hanya tinggal kemauan. Tak ada usaha untuk mewujudkannya.
Kemauan merupakan modal dasar untuk meraih sukses. Apapun yang kita lakukan, bila tak tak disertai kemauan niscaya semuanya menjadi sia-sia.
Banyak orang sukses yang memulai segala usahanya dari hal yang tak ada, jarang dipikirkan orang, serta banyak yang enggan melakukannya. Mereka yang sukses memiliki kemuan untuk melakukan sesuatu yang tak dilakukan oleh orang lain. Mereka tekun melakukannya. Dan sampai titik tertentu mereka memperoleh apa yang mereka inginkan.
Salah satu yang harus disyukuri oleh manusia di dunia ini adalah adanya kemauan. Ia tumbuh seiring dengan pertumbuhan manusia. Kemuan juga dipengaruhi oleh kebutuhan, hasrtat atau keinginan, persaingan atau kompetisi, serta nafsu. Semua itu saling berpadu untuk mempengaruhi kemauan manusia. Ada yang diperlukan sangat banyak, dalam waktu sekarang, serta memerlukan usaha yang keras. Ada pula yang diperlukan saat yang akan datang. Diperlukan dalam jumlah yang sedikit, serta tak memerlukan usaha yang keras. Namun, semua itu memberikan pengaruhi bagi kemauan manusia untuk berusaha. Bahkan, tak jarang, untuk memenuhi kemauannya, manusia saling berperang.
Kita tentu tak perlu berperang, dalam pengertian saling menyakiti secara fisik, tapi kita harus bersaing dalam memenuhi kemauan. Hal ini lumrah saja karena sesuatu yang menjadi keinginan kita juga merupakan kemauan orang lain. Kita berlomba untuk mendapatkannya. Hal yang baik tentang ini adalah, semua orang bisa mendapatkannya asal mau berusaha. Apalah gunanya kemauan bila tak diusahakan. Ibarat ingin mendaki gunung, tapi malas mendaki.
Apapun yang kita mau, kita memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkannya. Sekarang tinggal bagaimana kemauan yang ada itu kita barengi dengan tindakan atau usaha yang jelas dan nyata untuk mendapatkannya. Bila ada kemauan di situ pasti ada jalan. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Jadi, mari semangat. Wujudkan segala kemauan yang kita miliki. Singkirkan segala halangan. Sambutlah sukses yang sudah menunggu di ujung jalan. Wallahu a’lam bishawab.

Rabu, 07 Maret 2012

Malam (Sebuah Prosa)

Malam jika engkau datang maka terbanglah anganku, seribu kunang-kunang menyembah di sudut bibirmu. Lampu-lampu jalan berbaris memberi hormat bak sebarisan tentara yang kalah perang. Gerobak cinta satu persatu mengiringi kereta sembari menghiasi wajah kota yang kian muram. Si kecil mengantuk di ujung gang yang lesu, sesekali ia menguap menyemburkan aroma malam yang mencekam.
Segala gundah telah terkubur sore tadi, dan pintu-pintupun telah tertutup. Bumi meratapi siang yang demikian pedih, sebab pertarungan telah usai. Lalu lalang roda kehidupan semakin sepi. Disebuah emperan toko, menangis seorang gadis. “Ibuku mati, bapakku pergi.”
Malam mendekapnya erat mengelus-elus pundaknya yang semakin rapuh. Sementara bulan yang ditunggu untuk memberinya keindahan tak pernah muncul. Bintang sudah lama menghilang, tak sudi berteman dengannya. Ia hanya bisa bisa menunggu pagi dimana segala harapan ia tumpahkan semuanya.

Rabu, 29 Februari 2012

Jangan Takut

Foto: Dok. Pribadi


Jangan takut pada malam, sebab ada bintang di langit
Jangan takut pada awan karena awan hanya air
Cahaya dan air memberikan ketenangan kepada kita

Aku Dan Alam Ini

Hari langit terlihat mendung. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Ya Allah, bila Engkau curahkan hujan dari langit, sertakan pula rezeki bagi kami yang ada di bumi ini. Kami sekarang masih mengalami banyak kekurangan. Karena itu, bila Engkau tak menolong kami, niscaya hancurlah kami.
Tak terasa untaian kalimat di atas keluar begitu saja dari mulutku. Cuaca akhir-akhir ini yang tak menentu memberikan peringatan tentang sebuah keadaan. Mungkinkah Allah SWT sengaja memberikan ujian lewat cuaca? Atau cuaca tersebut memberikan pertanda bahwa alam mulai tak bersahabat dengan manusia?
Semua serba mungkin. Dan kekuasaan Allah SWT melebihi segalanya. Kita sebagai makhluk seharus sadar akan hal tersebut. Tapi, banyak diantara kita yang tak peduli alias acuh dengan keadaan tersebut. Sebagai sebuah tanda, alam atau tepatnya cuaca memberikan pelajaran bagi kita yang suka belajar. Pelajaran tersebut seharusnya memberikan penyadaran agar kita lebih patuh dan tunduk kepada Sang Pengatur alam semesta ini.
Aku mungkin bagian dari orang yang tak mengambil pelajaran tersebut. Aku mungkin menyatakan diriku sebagai orang yang tak mau belajar. Tak apalah yang penting bisa sedikit menganalisis, walaupun mungkin tidak tepat benar. Sebab, kebenaran yang hakiki itu hanya milik Allah SWT, manusia hanya berusaha untuk mencapai kebenaran itu.
Kembali kepada perubahan cuaca, sesungguhnya Allah memberikan tanda kepada makhluk, yaitu kita sebagai manusia bahwa hal perilaku, perbuatan, watak, perangai, dan sifat manusia yang sudah tidak selaras lagi dengan kehendak alam. Mungkin alam menginginkan kerjasama yang antara kita dengannya. Tapi, kita sebagai manusia sering abai dengan tanda-tanda alam tersebut. Bukankah antara manusia dan alam sebenarnya sebuah kesatuan yang tak terpisahkan. Artinya, manusia diciptakan untuk memelihara alam semesta, dan alam diciptakan untuk membantu manusia. Melihat tersebut, sebenarnya antara alam da manusia harus terjadi kerjasama yang harmonis.
Tapi, manusia selalu menyombongkan diri. Didalamnya, termasuk aku yang suka mengabaikan tanda-tanda alam. Kerjasama dengan alam bukan berarti melakukan ritul seperti memberikan makan dan sebagainya. Tapi kerjasama yang diinginkan adalah saling memelihara. Saling melengkapi dan saling berbagai. Selama ini, alam lebih banyak berbagi dengan manusia, sementara manusia lebih banyak yang lalai dengan alam semesta.
Mulai sekarang, mari kita menjaga alam. Lingkungan terdekat merupakan tempat mulai yang paling ideal. Dari lingkungan sekelilinglah perilaku bersahabat kita dengan alam harus ditunjukkan. Kalau lingkungan saja tidak bersahabat, apalagi dengan lain.
Ulasan singkat ini mudahan bisa membantu kita, utamanya saya dalam menjaga dan bersahabat dengan alam. Banyak bisa dilakukan untuk menjaga persahabatan tersebut agar memberikan manfaat yang besar bagi kedua belah pihak. Wallahu a’lam bishawab.

Selasa, 28 Februari 2012

Jumpa Kembali

Hari ini, tanggal 28 Februari 2012, tepat setahun sudah aku meninggalkan dirimu. Setahun yang lalu kita masih bersama. Namun, karena sesuatu dan lain hal, aku tak bisa mengunjungimu lagi. Hari ini, aku datang lagi. Semoga dengan pertemuan hari ini membawa kebaikan bagi kita berdua.
Tak mudah memang untuk mendatangimu tiap hari. Tapi, jika tidak dilakukan maka kita tidak akan mampu berkomunikasi secara inten. Engkau memang teman baik. Tapi aku telah mengabaikanmu. Hari ini aku datang untuk mengulang kembali saat-saat kita bersama dulu. Bercengkarama. Berdiskusi. Atau bahkan sekedar "say hallo." Aku tak tahu apakah kau mau menerimaku lagi. Aku tak mau tahu, apakah kau sudi atau tidak menerimaku lagi. Yang pasti aku akan berusaha untuk hadir disini setia saat, agar kita bisa kembali seperti dulu lagi.
Blogku..... Semoga saja kerjasama kita di masa-masa yang aka datang lebih baik lagi. Kita bisa bersama memberikan secuil harapan, pengetahuan, wawasan, dan sebagainya kepada siapa saja yang membutuhkannya. Aku yakin, walaupun mungkin tak ada yang peduli dengan kita, tapi kita harus tetap bersama. Dengan kebersamaa itu aku juga berharap memberikan arti bagi dunia dan terutama bagi kita berdua. Selamat berjumpa blogku tersayang. Maafkan aku yang telah melupakanmu selama ini.