Minggu, 01 Agustus 2010

Perpisahan

“Kalau sudah sampai SMS ya !”
“Iya. Kalau sudah sampai nanti aku kirim kabar” jawabnya sambil memainkan HP.
Kembali kami terdiam. Sedari tadi, tak banyak yang kami perbincangkankan. Masing-masing asyik dengan pikiran sendiri-sendiri. Anak-anak yang biasanya sudah ramai pada jam segini, hari ini tak terdengar suaranya. Lalu lalang kendaraan di jalan yang biasanya hiruk-pikuk juga tak ada. Semua sepi, semua diam. Mungkin mereka juga sedang berduka dengan perpisahan ini. Di luar, gerimis mulai turun satu persatu.
Hari ini merupakan hari terakhir Rini dan Yuni tinggal bersama kami. Sejak sebulan yang lalu, mereka berdua tinggal di rumah kami. Rini dan Yuni sedang melaksanakan praktek di rumah sakit. Mereka berdua ditugaskan di sini dalam rangka mempraktekkan ilmu keperawatan yang telah mereka peroleh selama ini. Mereka berdua adalah mahasiswa Akademi Keperawatan di Palangkaraya. Menurut Rini, kampus mereka mewajibkan praktek kerja kepada mahasiswanya yang akan berakhir masa kuliahnya. Lama praktek tersebut minimal satu bulan.
Rini dan Yuni adalah teman Wiwin adikku. Menurut Wiwin mereka kenal sejak sama-sama waktu sekolah di SMA. Rini dan Yuni rupanya melanjutkan ke Akper, sedangkan Wiwin sampai SMA saja, karena tak ada biaya. Mereka berdua ditugaskan di RSUD Kasongan sebagai tempat prakteknya. Karena di Kasongan tak ada keluarga, mereka berdua berusaha untuk mencari Wiwin. Akhirnya, sampailah mereka di rumah ini.
“Terima kasih telah bersedia tinggal dengan kami. Mungkin selama ini kami tak bias membantuk kalian secara baik, atau selama kalian berdua tinggal di sini ada hal-hal yang tak berkenan, kami bertiga mohon maaf. Maklum karena kami tinggal hanya bertiga, orang tua sudah tak ada, jadi serba terbatas.”  Aku berusaha untuk memecahkan kesunyian. Kulihat Rini tak memberikan reaksi apa-apa atas ucapanku. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya. Tangannya yang sebelah masih memegang HP, sementara tangan kanannya memainkan ujung kain alas meja. Tampaknya ada hal sedang dipikirkannya. Sesekali dipandanginya aku yang duduk di sampingnya.
”Kami juga berterima kasih. Terutama aku” jawab Rini. ”Selama di sini aku merasa seperti tinggal dirumah sendiri. Aku merasa bukan berada ditengah orang asing, tetapi merasa hidup seperti dirumahku sendiri. Abang, Wiwin, juga Affan sama seperti abang, sudara dan adikku sendiri. Abang bertiga telah menjadikan aku seperti keluarga abang sendiri” kata Rini sambil memandang ke arahku. Tatapan matanya tajam, tepat menusuk ke jantungku rasanya. Aku hampir-hampir tak sanggup beradu pandang dengannya. Di ujung bening matanya mulai terlihat basah. Tak lama, satu demi satu tetes air mulai mengalir di pipinya. Matanya berkaca-kaca. Masih dipandangnya aku dengan muka yang mulai menampakkan kesedihan.
“Terima kasih “ ucapnya lirih. Kembali Rini menunduk menahan tangis, tangannya masih memegang HP. Entah apa yang sedang dipikirkannya. “Tak terasa waktu begitu cepat, baru kemaren rasanya aku sampai disini, tiba-tiba hari ini aku harus kembali ke Palangkaraya, padahal aku masih ingin tinggal disini. Aku mulai betah bersama abang disini. Mudan-mudahan Abang bertiga tak akan melupakan aku” kata Rini dengan terbata-bata.
Suasana terasa sepi. Wiwin sudah berangkat kerja sejak pagi tadi. Sementara Affan masih disekolah. Kebetulan Yuni sudah berangkat kemaren, dijemput oleh keluarganya. Persis kami berdua di rumah.
Ku pegang bahunya, dan ku putar badannya agar ia menghadap kearahku. Pelan-pelan ku usap air matanya yang mulai mengalir deras dipipinya. Ku pandangi wajahnya, dan ia pun memandang kearahku. Air mata itu masih mengalir dipipinya yang putih, dan semakin lama semakin banyak. Akhirnya, meledak juga tangisnya. Setelah lama berusaha menahan tangis, Rini tak kuasa juga. Badannya berguncang, mulutnya terkatup agar tak mengeluarkan suara tangisan. Akupun tak kuasa. Aku merasa mulai ada air yang mengalir di kedua belah pipiku. Aku ikut terharu dan menangis.
Ku peluk Rini. Kudekap tubuhnya, ku belai rambutnya yang hitam dan panjang dan ku usap bahunya untuk memberikan kehangatan. Kami berdua sama-sama menangis. Angin berhembus melewati kaca jendela, membelai tubuh kami yang tengah larut dalam kesedihan. Dikejauhan terdengar musik yang bernada sentimentil. Suasana begitu hening, yang terdengar hanya isak tangis.
”Sekarang sudah jam sembilan, kalau terlalu siang nanti kepanasan” ucapku memecah kesunyian kami berdua. Kulepas dekapanku, sementara Rini masih terlihat sesugukkan menahan sisa tangisnya. Ia menunduk dan tangannya sesekali mengusap air mata yang masih mengalir.
Ku raih kembali bahunya, dan ku kecup keningnya. . ”Aku sayang kamu” bisikku di telinganya Rini nampak terkejut, tak menyangka aku melakukan itu. Tapi ia diam saja. Ku ambil sapu tangan dan kuserahkan kepadanya. Diusapnya kembali dengan sapu tanganku sisa air mata yang mengalir dipipinya. Matanya merah oleh tangisan. Sejak pertama aku memang terpesona dengan Rini. Wajahnya cantik, tutur katanya lembut, dan yang membuat aku lebih tertarik adalah perhatiannya yang tulus. Rini memiliki pandangan yang luas. Setiap kali ngobrol dengannya, aku merasa selalu mendapatkan sesuatu yang baru. Sesuatu yang selama ini selalu aku impikan. Pokoknya Rini adalah tipe gadis impianku. Selain memiliki kecantikan fisik, Rini juga memiliki kecantikan hati yang memikat.
”Sudah-sudah, jangan menangis lagi. Kalau kamu terus menangis, kami jadi bersedih. Kamu tak inginkan melihat kami yang ditinggalkan bersedih ?” tanyaku. Rini hanya mengangguk
Kami berdua sama-sama bangkit dari kursi. Kuambil helm yang masih tergeletak di lantai, kuserahkan untuknya.
”Aku pamit ya bang. Tolong sampaikan permohonan maafku untuk Wiwin dan Affan. Dan kalau sudah sampai di Palangkaraya nanti aku kabarkan”
”Iya, nanti aku sampaikan. Hati-hati ya. Kalau capek istirahat, jangan dipaksakan. Oh ya, kamu berangkat nggak sendiriankan ?” Tiba-tiba ada terbersit rasa khawatir dalam hatiku, jangan-jangan Rini pulang naik kendaraan sendirian. Waktu datang kemaren ia bersama Yuni. Tapi hari ini ia sendirian.
”Aku berangkat dengan kawan-kawan, mereka menunggu di jembatan ?” jawab Rini.
Lega rasanya mendengar penjelasan Rini. Perjalanan ke Palangkaraya memang tak lama. Satu setengah jam paling lama, sudah sampai di sana, tetapi di jalan siapa tahu ada apa-apa. Apalagi sendirian, cewek lagi. ”Ah... mudah-mudahan tak terjadi apa-apa.” pikirku dalam hati.
Tiba-tiba Rini berpaling dan memandang ke arahku. Didekatinya aku. “Aku juga sayang dengan Abang” di peluknya tubuhku. Aku agak sedikit tergagap dengan pelukannya. Sejenak aku tak tahu harus berbuat apa. Aku benar-benar tak menyangka akan hal itu. Rupanya Rini memiliki perasaan yang sama denganku. Selama ini kami memendam perasaan suka dan sayang dalam hati saja. Dan hari ini, semua terungkap dengan jelas. Matanya kembali dipenuhi air mata. Rini kembali menangis.
“Benarkah itu Rin ?”
“Iya Bang. Sejak semula aku merasa cocok dengan abang. Aku merasa sepertinya aku telah menemukan sesuatu yang ku impikan selama ini. Semula aku ragu. Tapi, setelah tahu abang juga sayang denganku, aku jadi bahagia. Semula aku menangis karena sedih, tetapi sekarang aku menangis karena aku bahagia” Kembali ku hapus air matanya. Rini membiarkan tanganku menyentuh dan menghapus air matanya. Kali ini aku menghapusnya dengan lebih sayang lagi.
“Berangkatlah. Teman-temanmu sudah menunggu. Aku di sini selalu menanti kehadiran mu. Berhentilah menangis, tataplah matahari, tersenyumlah dan akhiri hari ini dengan kemenangan. Kemenangan untuk cinta dan kasih kita. Percayalah bahwa Allah pasti akan mempertemukan kita dalam keadaan yang lebih baik. Allah akan menyatukan cinta kita, karena Ia telah menganugrahkan cinta itu dalam hati kita. percayalah”
Rini mengangguk. Kuiringi langkahnya menuju motor yang sudah di parkir dipinggir jalan. Ku jinjing tas pakainya. Sementara Rini hanya terdiam dan tertunduk berjalan disampingku.
”Aku berangkat,” disalaminya tanganku
”Iya. Semoga selamat ya.” Aku menyambut tangannya
”Amin.” Jawabnya singkat.
Distarternya suzuki satria merah itu. Suaranya terdengar pilu. Mungkin karena aku lagi bersedih karena di tinggal pergi, sehingga suara motorpun seakan mengikuti perasaanku. Tak berapa lama, motor itupun perlahan-lahan mulai merangkak meninggalkanku. Rini menoleh kearahku dan tersenyum. Aku masih berdiri terpaku dipinggir jalan. Sekejap mata, motor itupun menghilang di ujung gang, pergi bersama kasih, meninggalkan kenangan indah bersama Rini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar