Selasa, 07 Desember 2010

Ngapain Sekolah ? Nggak Bisa Jadi Camat Juga !

Demikian kalimat yang diucapkan oleh sepupu saya Penyang (nama samaran), ketika kami membujukkan untuk melanjutkan sekolahnya. Sepupu saya itu lagi duduk di kelas 2 sebuah sekolah menengah negeri di Kasongan. Pertengahan semester II ia mulai ogah-ogahan masuk sekolah. Alasan utamanya adalah malas. Sudah berbagai cara telah kami lakukan. Mulai dari cara yang halus sampai ke yang kasar sudah dilakukan oleh orang tuanya agar ia mau masuk sekolah. Tapi, semua upaya kami tersebut belum mampu meluluhkan hatinya agar kembali sekolah dengan baik. Pernah suatu waktu orang tuanya mengejarnya dengan sambil membawa sepotong kayu agar saudara saya itu pergi sekolah. Hasilnya, tetapi nihil. Kalaupun ia berangkat sekolah, pasti tak akan pernah sampai ke sekolah. Di tengah jalan, ia akan mengalihkan tujuannya ke arah yang lain.
Sudah beribu ceramah yang diberikan. Pukulan pun pernah dilayangkan. Tak ketinggalan kami yang saudara sepupunya, bahkan teman-temannya pun banyak yang membantu untuk membujuknya agar sekolah seperti biasa. Dasar anaknya memang keras kepala, ia tetap bersikokoh dengan kehendaknya untuk berhenti sekolah. Alasannya sangat sederhana, “sekolah tak akan bisa membuatnya  menjadi camat” ujarnya. Entah bercanda atau serius, tetapi sampai saat ini memang itu yang selalu diucapkannya ketika kami membujukknya untuk sekolah.

Menurutnya, sekolah tak bisa memberikan apa yang ia harapkan. Setiap hari selalu disibukkan dengan pelajaran yang menurutnya tak membuat ia trampil dan pandai. Entahlah, benar atau tidak, itulah yang menjadi alasan lainnya. Kami sudah berkonsultasi dengan guru-gurunya. Para guru tersebut tak menemukan ssuatu masalah dengan prilaku, etika, dan kemampuan anak tersebut. Menurut para gurunya, sepupu saya itu termasuk anak yang baik, dan mudah memahami pelajaran. Kami semua menjadi bingung. Akhirnya, orang tuanya menyerahkan segalanya kepada si anak tersebut.
Sekolah yang ia jalani sangat membebani pikirannya. Kenyataan yang ada menunjukkan bahw begitu banyak lulusan sekolah yang malah menjadi pengangguran. Hal ini menurutnya, sekolah tidak bisa menjembatani antara pengetahuan siswanya dengan kebutuhan kerja di tengah masyarakat. Sekolah menurutnya hanya mementingkan prestise dibandingkan keterpakaian keahlian siswanya ditengah masyarakat. Karena itu katanya jangan heran bila banyak lulusan sekolah yang menganggur. “kalau lulus hanya jadi pengangguran, ngapain sekolah ?” katanya. Kalau ingin menjadi pejabat menurutnya tak perlu sekolah yang tinggi-tinggi. Sekarang ini bukan ijazah yang dipentingkan, tapi kekayaan. Siapa yang kaya ia akan berkuasa. Lihat saja katanya, begitu banyak orang sukses yang tanpa sekolah. Banyak pejabat kita yang tak lulus sekolah menengah. Bahkan, banyak yang untuk menduduki jabatan tersebut, mereka menggunakan ijazah palsu, dan anehnya, hukum tak bisa menjerat mereka.
Terlepas benar atau salah, kenyataan sekarang ini banyak memberikan pembenaran dari pikiran saudara saya itu. Banyak diantara tetangga saya yang menganggur setelah tamat sekolah menengah. Mungkin karena melihat kenyataan tersebut, saudara saya ini jadi berubah pikiran.
Dalam kesehariannya, sepupu saya itu selalu berkutat dengan pekerjaan rumah sehari-hari. Ia mengerjakan apa yang bisa dikerjakannya, setelah itu paling-paling membaca, atau sekedar mengobrol dengan teman-temannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar