Sabtu, 11 Desember 2010

Tersesat ....... (cerpen bag. III habis)

Kembali ia mencoba untuk berjalan. Kali ini ia menemukan batang pohon kecil bekas ditebas. Ia berpikir bahwa ini merupakan tanda bahwa orang pernah lewat daerah ini. Ada rasa optimis dihatinya. Biasanya orang yang biasa masuk hutan akan memberikan tanda daerah yang dilewatinya. Tanda tersebut berupa bekas tebasan pohon semak atau perdu. Tak lama ia menemukan bekas jalan setapak yang sudah mulai ditumbuhi rerumputan. Rasa optimisnya untuk menemukan jalan kembali menjadi semakin besar. Langkahnya mulai terasa ringan. Walaupun ia tak yakin bahwa jalan yang dilaluinya akan mengantarkannya bertemu dengan teman-temannya, tapi ia tetap berjalan. Sakit yang semalam  ia rasakan di kaki dan tangannya, kini mulai terasa ringan. Namun di tengah jalan ia di landa kebingunan, kemana harus melangkah. Bukankah sebuah jalan memiliki awal dan ujung. Awal merupakan tempat kita mulai berjalan, dan akhir merupakan ujung dari jalan tersebut. Pada saat ini ia harus menuju ke arah jalan kembali itu. Sebab, awal jalan merupakan tempat pertama berpisah kemaren. Kebingungan mulai melanda, apakah terus berjalan ke depan atau  balik ke arah belakang. Dilihatnya matahari yang sudah menampakkan sinarnya. Ia teringat bahwa kemaren, ketika berpisah, matahari berada didepannya. Bila sekarang matahari berada didepannya, maka ia harus berbalik arah.
Dalam perjalanan berbalik arah itu, rasa haus kembali mendera. Maklum saja, matahari bersinar dengan terik. Walaupun jam menunjukkan pukul 09.00 WIB pagi, tapi panasnya sudah terasa menyengat. Didepannya ada kubangan air berukuran kurang lebih satu meter persegi. Segera ia dekati air itu. Terlihat disana sini banyak bekas kaki binatang. Ada bekas kaki rusa, kijang, ada juga bekas kaki burung dan sebagainya. Ia sibakkan permukaan air untuk mendapatkan air yang tak mengandung serpihan daun atau ranting kecil. Ia minum sepuasnya. Diisinya botol airnya dengan penuh. Setelah itu dibasuhnya muka serta diusapnya kepala dengan air itu. Ada rasa segar menyusup dari kulit kepalanya. Rasa segar menjalar ke seluruh tubuh.
Dikejauhan terdengar seperti suara orang memanggil-manggil namanya. Ia berhenti membersihkan kakinya dengan air. Ia diam mencoba mencari arah suara itu. “Mungkinkan itu suara teman-teman saya” pikirnya. Suara panggilan itu sepertinya timbul tenggelam. Angin yang membawa suara itu kadang kencang kadang lambat, jadi, suara yang terdengar juga kadang muncul kadang tenggelam. Ia tersenyum. “Aku  akan segera menemukan mereka” bisiknya. Ia segera bergegas meninggalkan tempat itu, mencari sumber suara yang memanggil namanya.

“Ooooooiiiiiiiiiiiiiiiiiii” ……….. ia berteriak keras. Gema suaranya seperti hilang di telan bumi. Tak ada suara sahutan. Kembali ia berteriak. Tak ada juga sahutan. Ah….mungkin suara tadi hanya suara lain saja katanya. Ia tetap melangkah sambil sesekali menebas rerumputan dan tumbuhan kecil yang mengganggu langkahnya. Ia berteriak lagi. Suaranya lebih nyaring dan karena tenggorokannya sudah lega, karena baru saja di basuh dengan air. Sambil berjalan ia berteriak. Terkadang nyaring, terkadang lemah. Diselingi batuk, ia tetap berteriak, berharap ada diantara temannya mendengarkannya. Setelah sekian lama berjalan, ia pun kelelahan. Di sebuah pohon meranti yang cukup besar, ia berteduh.
Dari kejauhan ia mendengar lagi orang memanggil-manggil namanya. Sayup-sayup suara itu, kadang timbul kadang tenggelam. Ia berhenti berteriak serta menghentikan langkahnya. Dengan berdiri tegak ia coba untuk mendengarkan lebih teliti lagi suara itu. “Betul. Mereka memanggil namaku” kembali ia berbicara dengan dirinya sendiri. Ia pun semakin bersemangat melangkah untuk mencari asal suara itu. “aku harus memperhatikan arah angin” ujarnya lagi. “paling tidak angin itu memberi petunjuk bahwa suara itu dari arah sana,dan tentu sudah tak terlalu jauh dari sini” ujarnya kembali. Ia tak berteriak lagi, takut kalau suaranya justru menghilangkan suara dari teman-temannya.
“Aduh …..?? tiba-tiba ia berteriak. Seekor penyengat terbang dari arah kakinya. Dipegangnya kakinya yang sakit, serta dilihat ada bintik merah di sana. Ternyata penyengat itu menyerangnya. Ia tak tahu dari mana asal penyengat itu. Ia pun bergegas meninggalkan tempat itu. Sekilas ia melihat bahwa kira-kira tiga meter arah kanannya ada sarang penyengat. Buru-buru ia mengambil air liurnya dengan menggunakan tangannya. Kemudian air liur itu ia sapukan ke bekas gigitan penyengat tadi. Ada rasa perih. Ia teringat pesan almarhum ibunya, bahwa apabila kita tergigit penyengat, maka oleskan air liur kita di tempat bekas gigitannya. Air liur kita akan menghalangi pembengkakan kata ibunya. Kakinya masih terasa perih. Sebenarnya ia belum pernah mempraktekkan pesan ibunya itu. “Mudah-mudahan pesan ibu manjur” bisiknya lagi.
Suara orang memanggil namanya semakin jelas. Suara itu sudah pasti suara teman-temannya sesama pencari damar garu.
“Diiikuuu ……..” suara itu semakin jelas.
“Mereka semakin dekat” ujarnya sambil mengmabil botol minuman yang masih tersisa separo. “Ooooiiiii…. Aku disini ….” Teriaknya. Suaranya agak serak. Suara teriakan temanya semakin jelas. Arahnya dari belakang. Ia pun berputar arah, berjalan ke arah belakang dari asalnya tadi. Ia semakin bersemangat. Langkahnya di percepat, walaupun masih perih akibat tertusuk duri dan sengatan penyengat. Namun semua itu tak dihiraukannya. Karena semangatnya ia tak memperhatikan kembali jalan yang dilaluinya. Kepalanya terantuk sebatang pohon. Pening dan seakan berputar-putar. Keadaan itu memaksanya untuk berhenti. Jalan yang dilaluinya memang bukan jalan setapak yang mulus. Di tengah jalan banyak duri, kayu yang besar atau kecil, serta semak belukar. Maklum karena jalan ini memang jarang dilalui. Jadi, tak heran bila kita lengah berjalan, mungkin kepala kita terantuk kayu, terinjak duri, atau tersangkut ranting pohon. Napasnya tersengal. Ia terduduk. Kepalanya masih berdenyut. Pohon sebesar paha orang dewasa itu terantuk dikepalanya. Ketika akan melewati pohon itu rupanya ia kurang menundukkan kepalanya. “Sial …..” umpatnya dalam hati.
Suara teman-temannya semakin jelas terdengar. Sesekali ia menyahut panggilan teman-temannya itu. Hal itu dilakukan untuk memastikan bahwa arah yang di tuju oleh temannya sudah benar.
Akhirnya mereka pun bertemu. Teman-temanya sibuk menanyakan keadaanya. Ia hanya diam dan tersenyum saja. Tak lupa candaan pun keluar juga dari mulut teman-temanya. Mereka langsung bergegas untuk kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar