Jumat, 10 Desember 2010

Tersesat ...... (cerpen bag. II)

Ia terbangun. Tak jauh darinya terdengar suara beberapa binatang hutan. Ya …. Suara itu, suara beberapa ekor babi hutan. Ia berusaha diam. Dalam hatinya ada rasa was-was. Suara-suara itu semakin dekat. Ia tetap diam. Semakin lama semakin dekat. Mungkin hanya beberapa meter saja dari tempatnya berteduh. Mulutnya kembali komat kamit, membacakan do’a dan surat al-Quran yang ia hapal. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Ia berharap Allah SWT memberikan pertolongan dan keselamatan kepadanya. Ada sedikit ketentraman dihatinya. Suara babi hutan itu sudah agak menjauh. Mungkin kawanan babi itu tidak mendapatkan makanan yang mereka cari, sehingga berangsur-angsur meninggalkan tempat itu. Serangan nyamuk dari tadi semakin keras saja. Mungkin nyamuk-nyamuk itu merasa menemukan darah di badan saya yang segar sebagai makanan mereka. Ia merasa sangat terganggu. Sebelumnya, serangan nyamuk itu tak terlalu dihiraukannya. Tapi sekarang ia sudah mulai tak tahan lagi. Tubuhnya terasa gatal. Ia tak bisa memejamkan mata lagi. Dibalikkannya badannya menghadap ke depan. Ia sudah tak tahan dengan posisinya semula. Sekarang ia merasa agak lebih baik. Disandarkannya punggungnya ke pohon itu. Matanya ia pejamkan.
Terbayang diwajahnya kedua anaknya yang masih kecil, istrinya yang senatiasa ramah dan penuh kasih sayang. Ada terbersit kesenangan dihatinya, bahwa anak dan istrinya sedang tidur lelap di ranjang yang tak terlalu tua. Kasurnya memang tak terlalu empuk, tapi masih enak untuk dijadikan alas tidur, ia menjadi bahagia menjalani semua ini demi kebahagian dan kesenangan anak dan istrinya. Keluarganya memang bukan keluarga berada, tapi sampai saat ini istrinya masih mampu mengelola uang belanja dengan baik, sehingga mereka tidak sampai berhutang di warung tetangga. Ia memang pekerja serabutan. Kadang menjadi buruh bangunan, di saat lain menjadi pencari kerilkil, dan beberapa minggu ini menjadi pencari dammar garu. Begitulah kehidupannya. Semua itu ia syukuri dengan keikhlasan. Istri dan anaknya sampai sekarang masih bisa memaklumi pekerjaannya. Mereka tak meminta sesuatu yang di luar kemampuan suami dan ayah mereka ini. Ia tersenyum kecil.
Mencari damar garu gampang-gampang susah. Kita harus berani masuk hutan agar mendapatkannya. Tidak setiap saat kita bisa mendapatkan kayu garu ini. Sekarang ini jumlahnya sudah mulai berkurang. Semua ini akibat kegiatan pencarian pohon garu yag tak kenal kata berhenti. Maklum saja, harga garu kualitas super bisa mencapai Rp 20 juta. Harga yang sangat menggiurkan. Sebatang pohon garu, apabila bisa mendapatkan damarnya sampai 1 kg atau lebih, kita bisa mendapatkan uang berjuta-juta. Uang tersebut kemudian dibagikan kepada anggota kelompok pencari damar, setelah dikurangi ongkos makan dan sebagainya.

Untuk mendapatkan garu, pohon garu yang sudah mati ditebang. Setelah itu dipotong-potong, di belah, dan kemudian diracik. Potongan-potongan kayu itu nanti yang akan di bawa ke kampung. Sesampai di kampung potongan tersebut di serut atau dikerok agar mendapatkan getah garu yang lebih halus lagi. Dari satu batang pohon garu, kita akan mendapatkan beberapa bagian. Pertama abu garu yaitu serbuk kayu gaharu yang dihasilkan dari proses penggilingan atau penghancuran kayu garu sisa pembersihan atau pengerokan. Kedua, Damar garu yaitu sejenis getah padat dan lunak, yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil garu, dengan aroma yang kuat, dan ditandai oleh warnanya yang hitam kecoklatan. Ketiga, Gubal garu yaitu kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil garu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang agak kuat, ditandai oleh warnanya yang hitam atau kehitam-hitaman berseling coklat. Menurut beberapa orang teman yang sudah biasa bekerja garu, damar garu digunakan untuk membuat winyak wangi, dupa, dan sebagainya. Ia merasa tak perlu terlalu tahu untuk apa dan di bawa kemana garu-garu yang mereka hasilkan. Yang penting garu itu laku di jual dengan harga mahal, sehingga ia mampu menghidupi anak istrinya dengan cukup.
Nyamuk-nyamuk semakin banyak saja mengerubuti tubuhnya. Ia sudah tak bisa lagi memejamkan matanya. Sudah berkali-kali dipejamkan matanya, tapi tak bisa juga membuat ia tertidur. Sementara itu, udara malam semakin dingin, apalagi di tengah hutan seperti ini. Jangankan di hutan, dirumahpun ia sering merasa kedinginan bila malam hari. Memang, akhir-akhir ini sering turun hujan. Dalam hatinya ia berdo’a agar tak turun hujan malam ini.
Di kejauhan terlihat berkas sinar putih. Mungkin itu pertanda bahwa hari mulai terang. Biasanya bila subuh menjelang ada suara ayam berkokok. Di tengah hutan seperti ia tak mendengar suara ayam, kecuali binatang hutan. Terbersit dalam hatinya rasa senang. “Sebentar lagi terang” gumamnya. Tubuhnya terasa sakit semua. Kakinya perih. Tangannya nyeri. Ia memang terkena kayu ketika berjalan semalam. Bekasnya masih terasa sakit. Dirabanya kaki yang sakit, terasa ada benjolan. Udara dingin bagai manusuk tulang. Sekuat tenaga ia menahan dingin yang sepertinya sampai ke sum-sum tulang. Tak ada yang bisa dilakukannya dalam keadaan seperti ini. Ia hanya bisa menunggu pagi.
Dari sela-sela dedaunan, awan putih  mulai terlihat. Dilihatnya jam yang masih melekat ditangannya, pukul 05.00 WIB. Di hutan, jam segini memang belum terang sekali. Rimbonnya pepohonan membuat cahaya sulit masuk. Ia mulai berpikir untuk mencari jalan kembali.
Hari sudah terang, ia pun berbegas untuk pergi. Tubuhnya terasa lemas. Maklum saja, dari kemaren sore perutnya belum di isi apa-apa. Haus pun sudah tak dihiraukannya lagi. Dengan bertumpu pada akar pohon meranti tempatnya berteduh, ia mengangkat tubuhnya untuk berdiri. “Aku harus kuat. Aku harus mampu kembali ke tampat kami berkumpul kemaren” ujarnya. Rantang, botol minuman, dan pisau ia ambil kembali. Tangannya masih mampu membawa rantang, botol minuman dan pisau itu.
Ia mulai melangkah mencari jalan untuk kembali. Baru beberapa langkah ia berjalan, terasa sangat berat sekali. Kakinya terasa sangat berat untuk di angkat. Sekuat tenaga ia berjalan. Setelah beberapa puluh langkah ia tak kuat. Di bawah rumpun pohon perdu yang tak terlalu tinggi ia istirahat. Diedarkannya padangan mengitari daerah tersebut, tak ada satu pun tanda-tanda alur jalan. Ia terus berpikir untuk menemukan jalan. Semalam ia sudah tak ingat lagi lewat mana ia sampai di tengah hutan itu. Sangat sulit baginya untuk mengingat kembali jalannya semalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar