Kamis, 09 Desember 2010

Tersesat ...... (cerpen bag. I)

Ditariknya semua rumputan yang menghalangi jalan. Ia sudah bertekad untuk menembus hutan ini dengan segala kekuatan yang masih tersisa. Sementara itu, perbekalan yang di bawa sudah mulai menipis. Ia tak patah semangat. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada ia terus berjalan. Sementara itu malam mulai menjelang. Suara binatang malam mulai terdengar. Ada yang mengeluarkan suara keras, ada pula yang kecil. Jangkrik mulai bersuara, dan burung-burung pun kembali ke sarangnya. Hutan lebat yang ditumbuhi berbagai jenis tanaman mulai gelap. Diliriknya jam tangan ada di pergelangan tangan, tepat pukul 17.00 WIB. Walapun demikian, di hutan lebat, jam segitu sudah mulai gelap. Beda dengan ketika kita berada di luar hutan, pasti lebih terang.
Perjalanan yang sangat melelahkan. Rombongan pencari damar garu itu sudah terpisah. Mereka berangkat dari desa sejak pukul 07.00 WIB pagi. Sampai sekarang ia tak tahu dimana teman-teman yang lain. Mereka semua asyik dengan dirinya sendiri. Mereka berlima sepakat untuk berpisah agar lebih mudah mendapatkan pohon garu yang dicari. Hutan yang mereka masuki memang tidak terlalu angker namun cukup lebat. Lebat dengan berbagai jenis tumbuhan. Ada meranti, keruing, dan sebagainya. Mulai dari tumbuhan kecil yang tak terlihat jelas, sampai pohon-pohon yang menjulang tinggi. Walau pun hutan ini tak angker, di dalam hutan pasti menyeramkan. Apalagi kalau kita hanya sendirian. Demikian pula yang ia rasakan. Suara-suara aneh mulai bermunculan. Suara-suara yang tak pernah terdengar di telinga selama ini. Tapi ia tetap menguatkan langkahnya. Beberapa kali sudah ia berteriak memangggil temannya, tapi tak satupun yang menyahut panggilannya.

“Oooiiii …… kalian dimana ? teriaknya. Suaranya hilang di telan rimbonnya pepohonan. Artinya, jarak antara ia dan temannya pasti sangat jauh. Di dalam hutan, suara yang kecil saja akan mudah di dengar. Hal ini karena hutan memang sunyi.
Tanah yang di injak sudah mulai tak terlihat. Beberapa kali ia tersandung ranting yang jatuh. Entah berapa jumlah luka kecil dikakinya. Perihnya mulai terasa. Persedian air sudah sangat sedikit. Sementara haus sudah mulai mendera. Kalau pada siang hari, akan mudah mencari air. Tapi, malam seperti ini akan sulit, karena kita tidak melihat kondisi airnya secara jelas. Jangan-jangan di air itu ada makhluk yang berbahaya dan terminum. Atau, pada siang hari kita dapat mencari tumbuhan yang banyak menyimpan air dibatangnya. Kita hanya memotong bagian batangnya saja. Dan air akan keluar. Pada malam seperti ini akan sangat berbahaya. Sebab, ada tumbuhan yang sama dengan tumbuhan tersebut, dan mengandung banyak air, tapi airnya beracun. Ihh….nggak deh. Bisiknya.
Ia tetap berjalan, sambil sesekali memanggil nama teman-temannya. Arah jalan sudah tak kelihatan, ia berjalan tanpa arah yang jelas. Tapi ia tetap yakin bahwa ia tak akan tersesat. Suara-suara binatang hutan ada yang dekat sekali, dan ada yang terdengar jauh. Ada rasa takut yang mulai menjalari tubuhnya. Sebenarnya, ia sudah biasa kemalaman di hutan. Tapi, ia selalu bersama dengan beberapa orang teman. Karena banyak orang, biasanya rasa takut akan terkalahkan. Namun, saat ini ia sendiri saja. Rasa takut yang menjalari tubuhnya sekuat tenaga di tahan. Ada rasa khawatir akan keselamatannya.
Ia dan temannya sebenarnya sudah bersepakat untuk berkumpul di tempat pertama mereka berpisah sekitar pukul 16.00 WIB. Entahlah, ia sepertinya kehilangan arah, dan belum mendapatkan jalan kembali. Mungkin temannya yang lain seperti itu juga. Ia hanya bisa menduga-duga saja. Sampai saat ini ia belum mendapatkan apapun. Perjalanan jauh yang dilalui tak memberikan hasil apa-apa. Tak sekali ini saja. Untuk mendapatkan damar garu memang tidak mudah. Di samping karena letaknya yang jauh, juga karena tumbuhan ini sudah mulai punah. Banyak orang yang berusaha untuk mendapatkannya
Hari sudah sangat gelap. Jalanan tidak kelihatan lagi. Ia berjalan sudah tak memperhatikan arah lagi. persisnya, ia kehilangan arah. Dalam kekalutan pikiran ia berkesimpulan untuk istirahat. Tapi dimana bisiknya dalam hati. Akhirnya ia memutuskan untuk beristirahat di sebuah pohon besar. Dalam hatinya masih berharap bahwa teman-temannya akan semakin dekat dengannya. Didepanyan ada sebuah pohon besar. Dalam kegelapan malam ia masih bisa membedakan mana pohon yang besar. Di bawah pohon itu ia berusaha mencari tempat yang nyaman sekedar untuk meletakkan pantat. Ia tahu jenis pohon apa yang ada dihadapannya. Meranti. Akar-akarnya terasa besar. Diantara dua akar atau baner itu, ia berusaha menyandarkan badannya yang sudah terasa sangat lelah.
Ia tak membawa bekal apapun selain sebilah pisau, serantang makanan, dan sebotol air. Semua perbekalan itu sudah habis. Makanan itu sudah habis sebelum Ashar tadi. Ada rasa penyeselan dalam hatinya. Kenapa ia dan kawan-kawannya berpisah. Atau kenapa ia tak cepat kembali ketika hari masih terang tadi. Tangannya meraba-raba mencari beberapa dahan pohon yang masih bisa digunakan untuk alas duduk. Ia tak tahu lagi apakah dahan-dahan itu baik untuk alas duduk atau tidak. Sementara suara-suara binatang hutan semakin nyaring terdengar. Jangkrik, katak hutan, beberapa jenis burung yang ia tak kenal namanya, mengeluarkan suara yang sangat khas. Mulutnya mulai komat-kamit melafalkan beberapa do’a yang ia hapal.
Pada saat seperti ini, serangan binatang buas merupakan hal yang paling ia takutkan. Ular, yang bergerak hampir tanpa suara merupakan binatang yang paling ditakuti. Walaupun sudah terbiasa dengan hutan, tak urung rasa takut menyerangnya juga. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, ia berusaha untuk menguatkan diri. Rasa haus dan lapar yang mulai mendera ditahannya sekuat tenaga. Dicarinya pucuk-pucuk kayu yang masih muda untuk di kunyah. Dalam gelapnya malam ia menemukan beberapa pucuk kayu yang masih muda. Pucuk-pucuk tersebut diambil dan dikunyahnya. Ia sudah pasrah. Untuk mengurangi lapar dan haus ia kunyah daun-daun tersebut. Ia hanya bisa pasrah. Ia tak membawa korek api, atau sejenisnya. Sebabnya, ia termasuk bukan orang yang perokok. Di antara temannya memang ada yang merokok, tapi sebagain besar tidak merokok. Tapi, mereka biasanya membawa korek api untuk menghidupkan api, bila ingin memasak makanan di tengah hutan atau ketika menemukan binatang yang bisa dimakan.
Terasa sekali khas daun kayu hutan dilidahnya. Ada rasa asam yang sangat khas, tapi tak terlalu asam. Dalam hatinya untung mendapat yang rasa masam. Kalau pahit pasti akan ada racunnya dan itu sangat berbahaya bagi dirinya. Ia mulai berpikir bagaimana menempatkan tubuhnya di pohon besar itu. Ia sudah tak berpikir lagi dengan kedatangan kawan-kawannya. Ia hanya berharap malam segera berlalu dan ia dapat melanjutkan perjalanannya. Kantuk mulai menyerang. Beberapa kali ia kehilangan kesadaran. Segera ia menelungkupkan badannya di pohon besar itu. Ia perpaling menghadap pohon besar itu, dan wajahnya menyetuh kulit kayu itu. Terasa ada beberapa lumut kayu yang menyetuh mukanya. Segara ia kibaskan dari hadapannya. Ia atur kembali posisi duduknya agar terasa nyaman. Posisinya sekarang persisi seperti orang Bali yang sedang bersembahyang. Kedua tangannya diletakkan di muka untuk menahan kepalanya dan sekaligus tempat bersandar di pohon itu. Hal itu dilakukannya untuk mengurangi rasa takut. Rantang makanan, botol minuman dan pisau ia letakkan di sisi kiri dan kanan tubuhnya. Hal ini agar ia lebih  mudah menggunakannya bila ada sesuatu yang terasa mengganggu dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar